Postingan

Featured post

Pengalaman Berburu PTN dan PTK: USM STIS 2016

Holla! Baru sempat ngeblog lagi setelah sebulan kemarin sibuk banget dengan acara kampus tercinta. Kali ini saya pengen berbagi pengalaman tentang gimana sih Ujian Saringan Masuk (USM) STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik) itu. STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik) adalah perguruan tinggi kedinasan di bawah Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. STIS adalah salah satu PTK yang diminati banget sama siswa-siswi SMA karena untuk prodi D4 memang hanya dibuka untuk lulusan SMA. STIS membuka prodi D3 dan D4 untuk tahun 2016 ini. Nah, untuk Prodi D4 pada tingkat 2 nantinya akan dijuruskan ke : -D4 Statistika à Statistika Ekonomi – Statistika Kependudukan -D4 Komputasi Statistik Setiap tahunnya STIS menerima kurang lebih 500 orang mahasiswa-mahasiswi terbaik (tergantung pada kebutuhan BPS juga). Untuk tahun ini, jumlah seluruh angkatan 58 adalah 526 orang yang terdiri atas prodi D-IV Ikatan Dinas, DIV Tugas Belajar, dan Prodi D-III. Kenapa harus masuk STIS?

Menjejak Bumi Bersama Asmara, Menyelam Laut Bersama "Laut Bercerita"

Gambar
"Laut Bercerita" selalu menarik mataku setiap kali berkunjung ke toko buku di tengah kota pada hari Minggu. Sehingga ia menetap dan mengganggu pikiranku berbulan kemudian. Sampai-sampai kusempatkan mengunduh dalam gawaiku melalui iPusnas, namun mataku enggan diajak bekerja sama. Sampai bulan-bulan setelahnya, aku terduduk di Auditorium kampusku bersama ratusan orang lainnya, menyaksikan Leila S. Chudori membagi kisah Laut melalui film pendeknya yang tidak bisa kulupakan hingga sekarang.  Kisah Laut kini berada dalam genggamanku melalui novel "Laut Bercerita" bersampul ilustrasi pedih sepasang kaki tenggelam lengkap dengan rantai pemberat. Laut memulai kisahnya pada perjalanan hidup tahun 1991 di Seyegan, Yogyakarta, bersama kelompok aktivisnya. Demonstrasi, aksi demi aksi, dan diskusi-diskusi panjang demi memperjuangkan negeri yang demokratis mewarnai episode-episode kehidupan Laut. Kisah ini begitu dekat dengan kita, bukan? Meski aku sama sekali tidak pernah masuk

Menelusuri Rasa Bersama "Aruna dan Lidahnya"

Gambar
Beberapa hari lalu, aku baru sadar November sudah hendak habis dan sedikit terkejut mendapati 2020 sebagai tahun paling surutku dalam membaca buku. Tentu saja setelah membuka goodreads  dan hanya menemukan Pulang milik Leila S. Chudori bertengger sendirian dalam daftar. Maka dalam perjalanan menemukan the old me , kuperlukan melahap beberapa buku untuk mengantarkan 2020 pada peraduannya.  Judul: Aruna dan Lidahnya (2014) Penulis: Laksmi Pamuntjak Halaman: 429 Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Harga: Rp95.000 Aruna dan Lidahnya, kubungkus barang setahun lalu dari Gramedia, yang kemudian berjalan dari teman-ke-teman bahkan sebelum sempat kutamatkan. Maka kuputuskan mulai berkawan dengannya seminggu lalu. Kesan pertamaku justru datang dari penyesalan membeli buku ini dengan versi cover filmnya: hal yang nyaris tidak pernah kulakukan sepanjang hidupku bercumbu dengan buku-buku. Meski tak cukup esensial, hal ini cukup membuatku meletakannya berbulan-bulan tak tersentuh.  "Aruna dan Lida

Bagaimana Caraku Bertahan: Sebuah Refleksi Bagian Satu

Hai, berjumpa lagi. Rasanya aku berhutang untuk empat tahun terakhir: menuliskan episode-episode paling krusial dalam kehidupanku memasuki usia seperlima abad. Tapi, baiklah. Mari membuatnya tidak seperti beban atau hutang. Maka kuputuskan membikinnya seperti aktivitas berkacaku setiap pagi: refleksi. Harapanku, semoga tak berlebihan, ada beberapa makna yang bisa kusimpan untuk hidupku ke depan. Dengan ini, kupersembahkan: refleksi. Kutuliskan ini diiringi suara Nadin:  kita beranjak dewasa, jauh terburu seharusnya bagai bintang yang jatuh, jauh terburu waktu mati lebih cepat, mati lebih cepat Tepat sekali. Maka kubawa ia, Farakh 4 tahun lalu, dihadapan kita sekarang juga untuk bercerita.  Tahun pertama: 2016-2017. Tahun pertamaku dimulai dengan kesalahan yang cukup kusesali hingga sekarang: luput memilih tempat tinggal. Terlalu tenggelam dalam euforia berhasil masuk perguruan tinggi kedinasan. Maka kuperlukan terkekeh sebentar ketika di masa depan aku mendengar cerita yang hampir sama

Self healing: Menjadi Sendirian

Selamat pagi, tidak menyangka bisa menyambangi blog sepagi ini. Persetan dengan ungkapan-ungkapan negatif yang baru saja kuterima lewat sosial media sepagi ini, mari menyembuhkan diri, lagi. Menjadi sendiri. Hal yang paling kutakutkan segera tiba. Saya sudah berada di penghujung masa kuliah. Saya bersyukur bahwa cukup banyak kawan, teman, sahabat yang saya jumpai sepanjang empat tahun kuliah di Jakarta. Tapi coba tebak? Ya, saya masih merasa sendiri. Sejak mengakhiri hubungan dengan mantan pacar empat tahun silam: saya bertemu dan berkawan dengan lebih banyak orang, hal yang tidak bisa saya lakukan selama masa pacaran. Kemudian saya sibuk haha-hihi berkawan sana sini hingga tiba pada tingkat akhir. Semuanya menjadi berbeda. Perkuliahan tidak sepadat dulu. Kegiatan kampus tidak semasif sebelumnya. Semua orang mendadak jauh, menarik diri dari saya (?) dan mungkin lingkungan pergaulan lain. Sahabat-sahabat yang dulunya tidak pernah tidak hang out  dan cerita ngalor-ngidul mengambil

Self-healing: Skripsi dan Keresahan yang Meliputinya

Lama sekali tidak menulis apa-apa di sini. Terlalu lama alpa, bahkan lupa kalau aku masih punya lembaran-lembaran kosong yang senantiasa terbuka untuk kuisi dengan apapun. Jadi, mari kita mulai lagi. Empat bar. Tangga teratas. Saya sudah berada pada masa-masa akhir pendidikan diploma saya di Politeknik Statistika STIS. Dengan sistem kuliah paket, kami diatur seideal mungkin untuk dapat masuk dan lulus bersama-sama. Seperti yang tentu saja sudah jauh-jauh hari saya antisipasi kedatangannya: tugas akhir atau skripsi. Sebentar, izinkan saya menertawakan diri saya di masa lalu yang terheran-heran mendapati kakak tingkat yang hampir setiap saat mengeluhkan tugas akhir mereka. Menurut saya waktu itu: kerjakan tiap hari saja, toh akan selesai juga. Memang, adik tingkat tidak tahu diri. Tapi itulah yang saya pikirkan saat itu sebagai adik tingkat yang hampir setiap mata kuliahnya ada tugas penelitian dan artikel, ditambah PKL, yang terakhir itu akan panjang ceritanya. Oke, kembali k

My (First) Love Story

Hai. Let me introduce "16 years old me". Anak rumahan yang baru masuk SMA. Bru pertama ngekost. Belum keluar dari masa-masa penuh duka karena jerawat. Belum pernah tau cinta-cintaan itu seperti apa. Honestly, sedikit tau lewat novel-novel yang kubaca. Mempunyai selera fashion nol besar! Gak pernah dandan. Satu-satunya yang bisa dibanggakan: aku menulis. Ok. Kenapa sih harus banget ditulis di sini? Segitu pentingnya ya? Nggak juga sih. Sebatas untuk pelajaran diriku aja, biar gak jatuh di lubang yang sama. Wqwq. But I'm not gonna focused on who is and story about it, tapi pelajaran yang dapat diambil dari kisah itu. Waktu itu, aku kira wajar bagi anak SMA mulai mengenal asmara: tidak terkecuali aku. So I'm in love with someone for the first time in my whole 16 years life. Aku nggak pernah berusaha untuk show up my feeling sama siapapun kecuali teman-teman terdekat aja. As a "writer wanna be" tentu momen-momen ini jadi ladang inspirasi dong. Nggak mau rugi

My Acne Story

Ini cerita tentang kejadian 3-4 tahun lalu. Aku menghadapi masalah yang cukup pelik saat itu: jerawat! Seserius itu? Iya! I know, mungkin sebagian dari kalian akan berpikir: kan cuma jerawatan aja, sebentar juga hilang, buat apa dibikin pusing? Ketika memasuki kelas 8, jerawat-jerawatku mulai muncul di dahi, pipi, hampir seluruh wajahku beruntusan dan wajahku hampir gak dikenali sama teman-teman lama. Awalnya aku merasa biasa aja, namanya juga pubertas. Sampai orang-orang di sekelilingku mulai blaming, mulai dari temen-temen sekolah, tetangga, adik, bapak, ibu, temen-temen ibu, bahkan guru sekolah! Ya, kamu ga salah baca. (: Segala macam bentuk diskriminasi karena fisik sudah pernah kualami. Mulai dari yang bernada perhatian : “Pipi kamu kenapa Far? Udah diobatin?” “Wah udah jerawatan, brarti tandanya udah gede nih.” Yang bernada menghakimi : “Mukakmu kenapa Far? Nggak perna dibersihin siyy, pantesan gitu…” “Pasti itu abis dipencet ya, tuh kan jadi nyebar gitu.” Sampai yang bernada